DARI LUKA, AKU DEWASA
"Kamu gak pernah ngerti apa mauku!" teriak Ayah, garis wajahnya mengeras.
"Aku udah mencoba buat ngertiin kamu. Tapi apa? kamu sendiri tidak
pernah menuruti keinginanku." Ibu berkata lirih, air matanya mengalir
pelan menelusuri pipi mulusnya.
Aku mengintip pertengkaran
mereka dari balik daun pintu kamarku. Entahlah, sudah kesekian kalinya mereka
bertengkar. Aku melangkahkan kakiku menuju meja belajarku lantas duduk dikursi
yang berada di depannya. Aku mengambil ponselku, mencari nama sahabat baikku di
kontak ponselku lantas menelponnya.
“Halo?” ucap
Nabila
“Bil, aku
mau kabur dari rumah.” Kataku sambil berbisik agar tak ada yang dapat mendengar
perkataanku.
“Kamu sedang
bergurau, kan?” balas Nabila tak percaya.
“Aku serius,
Bil. Aku akan memesan tiket pesawat setelah meneleponmu. Lalu, aku akan menulis
surat untuk Ibu dan pergi dari rumah ini.” Jelasku.
“Kamu mau
melakukan penerbangan kemana?” selidik Nabila.
“Aku akan
menuju Surabaya. Aku sudah merencanakannya dengan matang, Bil. Tenang saja, aku
akan selalu memberi kabar kok. Sudah dulu ya, Doakan rencanaku berjalan
lancar.”
“Hm...
Baiklah, semoga rencanamu berjalan dengan lancar. Aku pasti akan merindukanmu.”
“Terimakasih.
Sudah dulu ya, Bil. Aku mau memesan tiket dulu.” Setelah pamit, aku memutuskan
panggilanku dengan Nabila lalu segera memesan tiket pesawat.
Aku mencari tiket yang
penerbangannya akan dilakukan pada besok pagi pukul tujuh saat dimana Ibu dan
Ayah telah berangkat kerja. Setelah menemukan tiket sesuai keinginan, aku pun
langsung membookingnya lantas
bergegas mengganti pakaianku untuk menuju ke Indomaret guna melakukan transaksi
membeli tiket tersebut. Saat hendak keluar rumah, tiba- tiba saja Bi Inem
menghampiriku.
“Mau kemana,
Nduk? sudah malam loh.” Selidik Bi
Inem.
“Anu... Mau
ke Indomaret.” Balasku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ngapain ke
Indomaret jam segini?” tanya Bi Inem seraya menatapku tajam.
Aku menghela
napas, “Jangan beritahu Ibu sama Ayah, Bi. Aku mau ke Indomaret. Mau membayar
tiket pesawat yang baru saja aku pesan. Aku mau ke Surabaya, Bi. Aku mau minggat dari rumah ini. Aku sudah tidak
tahan melihat pertengkaran Ibu dan Ayah. Aku sudah merencanakannya sejak lama
dan aku berharap rencanaku berjalan dengan lancar. Tenang saja, Bi. Aku akan
menitipkan surat untuk Ibu kepada Bibi. Aku minta tolong supaya surat itu
diberikan setelah aku berangkat ya, Bi. Aku sangat menyayangi mereka tapi mau
bagaimana pun keputusanku sudah bulat, Bi. Aku akan pergi untuk menjadi santriwati
di sebuah pondok pesantren yang letaknya di Kediri. Maka dari itu, aku akan
melakukan penerbangan ke Surabaya besok lalu melanjutkan perjalanan dari
Surabaya menuju Kediri menggunakan kereta api.” Jelasku panjang lebar kepada Bi
Inem.
“Lalu
sekolahmu bagaimana, Nduk?” tanya Bi Inem dengan raut wajah kebingungan.
“Aku masih
kelas sepuluh, Bi. Tenang saja, semua sudah ku rencanakan dengan matang.”
Ucapku mencoba menenangkan Bi Inem.
“Memangnya
kamu punya cukup uang?” tanya Bi Inem yang masih khawatir.
“Aku punya
uang tabungan, Bi. Lagipula, uang yang biasanya dikirim Ayah maupun Ibu saat
mereka ke luar kota atau ke luar negeri tidak pernah aku ambil, masih utuh di ATM. Kupikir itu cukup.” Jelasku
berharap bibi mengerti.
Bi Inem
menghela napas, “Baiklah, tapi kamu harus janji, bakal ngasi kabar ke Bibi!”
perintah Bi Inem.
“Oke, Bi.
Aku mau ke Indomaret dulu.” Pamitku kepada Bi Inem yang dibalas anggukan oleh
Bi Inem.
Aku bergegas menuju Indomaret dan melakukan transaksi.
Setelah itu, aku segera pulang ke rumah. Waktuku tidak banyak, setibanya aku di
rumah, aku langsung mempersiapkan apa saja yang akan aku bawa besok setelah itu
menulis sepucuk surat untuk Ibu.
“Ibu, maafkan anakmu yang pergi tanpa pamit ini. Jujur
saja, aku pergi karena lelah dengan Ayah dan Ibu yang selalu bertengkar, selalu
menyalahkan satu sama lain. Aku memutuskan untuk pergi, membuka lembaran baru.
Aku akan menjadi santriwati di sebuah pesantren yang terletak di kota Kediri. Aku harap Ibu rida
akan keputusanku ini. Aku janji akan membuat Ibu bangga padaku suatu hari nanti.
Ibu sama Ayah harus akur! aku sangat menyayangi kalian.”
Tanpa sadar,
air mata membanjiri pipiku dengan derasnya. Kupikir, aku kelelahan. Mungkin
sudah saatnya untuk tidur. Aku beranjak menuju tempat tidurku, menenggelamkan
diriku pada selimut tebalku. Lantas berdoa sebelum tidur hingga akhirnya aku
terlelap.
Suara azan
subuh terdengar, aku terbangun dengan mata yang sulit sekali untuk terbuka. Aku
memaksa tubuhku untuk bangun, lantas melangkah ke tempat wudu untuk berwudu
lalu menunaikan ibadah salat subuh. Setelah melaksanakan salat, aku mengecek
kembali barang-barang yang akan kubawa. Merasa bahwa semua sudah lengkap, aku bergegas menuju kamar Bi Inem dan menitipkan
surat untuk Ibu.
Aku segera
menuju ke bandara Soekarno Hatta. Perjalanan dari rumahku menuju bandara
menghabiskan waktu setengah jam. Setibanya di bandara, aku menunggu jadwalku untuk
check-in. Suara seorang perempuan
yang memberi perintah untuk check-in
kepada penumpang yang menaiki pesawat yang sama seperti yang akan aku naiki
terdengar lewat speaker. Aku memasuki ruang check-in,
ku letakkan semua barang yang ku bawa agar diperiksa, setelah petugas
bandara memeriksa tiketku dan memastikan bahwa aku tidak membawa barang yang
membahayakan, aku dipersilakan untuk menuju ke ruang tunggu. Setelah menunggu
lumayan lama akhirnya sekarang jam penerbangan pesawat yang akan membawaku terbang,
aku bergegas memasuki pesawat. Setelah semua penumpang memasuki pesawat,
pramugari memberikan petunjuk-petunjuk seperti biasanya sebelum pesawat siap
untuk terbang. Pesawat yang aku tumpangi pun akhirnya lepas landas. Perjalanan
ini memakan waktu sekitar dua jam, aku menghabiskan waktu dengan melihat ke
bawah, semuanya terlihat sangat kecil, aku sangat menikmati perjalanan ini.
Sungguh indah sekali ciptaan Sang Maha Pencipta. Tanpa terasa, aku telah sampai
di Surabaya. Aku mengaktifkan ponselku, memberi kabar bahwa aku sudah tiba di
Surabaya dengan selamat kepada Bi Inem serta Nabila. Dari bandara Juanda menuju
stasiun, aku menggunakan go-car.
Setibanya aku di stasiun, aku bergegas memesan tiket menuju Kediri di loket pemesanan.
Setelah membeli tiket, aku menunggu dikursi yang telah disediakan. Lima belas
menit berlalu, kereta api yang ditunggu telah tiba, aku bergegas memasuki
kereta lalu dengan cermat mencari tempat dudukku. Setelah menemukannya, aku
meletakkan barang-barang yang ku bawa lantas menghabiskan perjalanan selama
tiga jam dengan terlelap. Tiga jam berlalu, tanpa terasa aku telah tiba di kota
Kediri. Aku mengambil barang-barang yang kubawa lantas keluar dari kereta api.
Saat keluar dari stasiun, banyak sekali kendaraan becak yang menunggu, berharap
akan mendapatkan penumpang demi melanjutkan kehidupan. Aku memutuskan untuk
menaiki becak agar sampai hingga ke tujuan.
“Kalo ke pesantren,
tarifnya berapa ya, pak?”
“25 ribu ya,
Neng. Buat penglaris.” Ujar bapak itu seraya tersenyum, aku balas mengangguk.
Selama perjalanan, kami banyak
berbincang-bincang. Hingga tanpa terasa, aku telah sampai di tempat tujuan. Aku
membayar tarif becak lalu mengucapkan terimakasih. Aku melangkahkan kaki menuju
tempat mendaftarkan diri sambil melihat-lihat, mencoba beradaptasi dengan
lingkungan baru.
“Enten nopo,
Nduk?” tanya seorang pria separuh baya.
“Maaf, Pak. Saya
belum bisa bahasa jawa.” Jawabku sopan.
“Healah. Ada
keperluan apa, Nak?” tanya pria itu.
“Saya mau
menjadi santriwati di pesantren ini, Pak. Bapak bisa bantu saya?” tanyaku pada
pria separuh baya itu.
“Kebetulan,
saya Pramu di pesantren ini. Ayo, ikut saya ke kantor pondok.” Ujarnya yang
kubalas dengan anggukan.
Sesampainya
di kantor pondok, aku diberi selembaran kertas, aku disuruh untuk mengisi data
diri. Saat mengisi data diri tiba-tiba saja ponselku berdering. Panggilan masuk
dari Ibu, aku menghela napas lantas menerima panggilan tersebut.
“Athala...”
Panggil Ibu dengan suara terisak seperti orang habis menangis.
“Iya, Bu?”
jawabku pelan.
“Maafin
Ibu...Ini semua salah Ibu! Ibu gak bisa ngurus kamu dengan baik. Ibu yang
bodoh! pulanglah, Nak... Pulanglah! Ibu merindukanmu. Ibu udah gak punya
siapa-siapa, Nak. Kamu adalah satu-satunya harta milik Ibu yang paling
berharga.” Bujuk Ibu.
Aku menghela
napas, mau bagaimana pun juga, tekadku sudah bulat dan aku sudah sejauh ini.
“Ibu...Thala
yang salah. Pergi tanpa pamit. Thala sayang banget sama Ibu, tapi mau bagaimana
juga keputusan Thala sudah bulat, tekad Thala sudah tidak bisa diganggu gugat.
Ibu baik-baik ya sama Ayah. Thala harap Ibu rida sama keputusan Thala. Thala
ingin buka lembaran baru, Bu. Thala janji, Thala akan menjadi anak yang
membanggakan Ibu maupun Ayah. Doakan Thala ya, Bu. Karena Athala percaya bahwa
doa Ibu bakal selalu mengalir di nadi Thala.” Ujarku mencoba menenangkan Ibu.
“Baiklah,
Nak. Kalau memang ini yang terbaik, Ibu rida. Kamu baik-baik ya disana. Ibu
juga sayang banget sama Thala. Ibu akan berusaha agar baikan dengan ayahmu. Ibu
percaya sama Thala. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngehubungin Ibu.
Nanti, Ibu bakal kirimin uang buat Athala. Nanti kalau Ibu punya waktu luang,
Ibu bakal kesana.” Ujar Ibu yang akhirnya meridai keputusanku walaupun aku tahu
dari nada bicaranya terlihat bahwa ia keberatan.
“Terimakasih,
Bu. Sudah dulu ya, Bu.”
“Iya sayang,
baik-baik disana.”
Panggilan
masuk pun terputus. Aku melanjutkan mengisi data diri dan mengurus semua hal
agar bisa menjadi santriwati disini. Usai mengurus semuanya, aku diantar oleh
Pramu menuju asrama baruku.
“Kamu mondok
karena keinginanmu sendiri, Nduk?”
tanya Pramu.
Aku
tersenyum ke arahnya, “Iya, pak.”
Pria separuh
baya itu mengangguk, “Mondok sing tenanan
nggih, Nduk. Agar orangtuamu tidak kecewa dan menyesal.”
“Iya, pak.
Lagipula saya sudah janji akan membanggakan orangtua saya. Saya yakin saya
pasti bisa.” Ucapku tanpa ragu.
“Saya suka
semangat yang kamu miliki, pertahankan itu.” Ujarnya sambil mengacungkan kedua
ibu jarinya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Ponselmu
biar aku bawa saja, Nduk. Nanti kalau
ingin menelepon atau apapun, kamu bisa menghubungi saya.” Bujuknya, aku pun
menitipkan ponselku padanya.
Pramu
tersebut hanya mengantarku sampai di depan pintu gerbang asrama. Selanjutnya
aku diantar oleh pengurus asramaku. Saat memasuki asrama, terlihat para santriwati
lainnya sedang sibuk mengaji. Mereka menghentikan aktivitas mereka ketika kakak
pengurus asramaku mulai bersuara.
“Perkenalkan
dirimu, Nduk!” perintah kakak itu padaku yang kubalas dengan anggukan.
“Namaku
Athala Megantara. Semoga kalian bisa berteman baik denganku.”
“Yawes.
Tak tinggal dulu, Nduk. Sing akur karo koncone.”Kata kakak
itu kemudian pergi meninggalkan aku yang masih memasang raut wajah kebingungan
karena tidak mengerti kalimat yang tadi diucapkannya.
Setelah memperkenalkan
diri, aku di kelilingi banyak santriwati yang ingin kenalan denganku. Mereka
antusias sekali padaku, kecuali satu orang. Entahlah, tapi dari mimik wajahnya
terlihat sekali bahwa dia tidak menyukaiku.
“Athala,
ikut aku!” perintah teman baruku sambil memegang erat tanganku. Dia membawaku
ke sebuah kamar yang cukup luas.
“Ini
lemarimu, sini aku bantu merapikan semua barang-barangmu.” Ujarnya sambil
membereskan barang-barangku.
“Terimakasih.”
Ucapku sungkan.
“Kamu tahu
namaku, kan?” tanya teman baruku yang membantu membereskan semua barang yang ku
bawa, aku menggeleng.
Dia menepuk
dahinya, “Namaku Sheila.”
Usai
membereskan semua barang-barangku, ia mengajakku untuk berkeliling. Tujuannya
agar aku cepat beradaptasi dengan pesantren ini. Aku suka dengan kepribadian
Sheila. Dia ramah, pendengar yang baik, dan dapat mengerti perasaan orang lain.
“Kamu harus
betah disini. Disini itu, selain kita dituntut untuk mencari ilmu, kita juga
mencari barokahnya. Kamu juga harus bisa memahami setiap karakter teman-temanmu
karena kita dibesarkan di lingkungan yang berbeda lalu disatukan disini.”
Aku
mengangguk, “ Kamu tahu, waktu aku memperkenalkan diri, ada seseorang yang
tidak antusias padaku, dia malah memasang mimik seperti tidak suka begitu.”
“Namanya
Aletta, dia memang begitu. Tipe orang yang senang diperhatikan dan benci saat
orang lain yang menjadi pusat perhatian.” Jelas Sheila.
Matahari
mulai kembali ke peraduannya. Guratan merah terlihat menghiasi langit. Senja
telah tiba. Kami kembali ke asrama setelah puas berkeliling, bergegas mempersiapkan
diri untuk mengambil katering. Usai mengambil dan makan katering, kami
mempersiapkan diri untuk salat berjamaah. Saat ingin berwudu, aku kaget karena antreannya
yang panjang.
“Antre itu
pemandangan yang biasa terjadi bagi kaum santri. Kamu harus terbiasa. Asal kamu
tahu, bahkan untuk buang air baik besar
maupun kecil pun kita juga harus mengantre.” Jelas Sheila sambil
tersenyum melihat ekspresiku yang terkejut melihat antrean wudu.
Setelah berwudu,
kami bergegas menuju masjid untuk menunaikan ibadah salat maghrib berjamaah
lalu dilanjutkan dengan mengaji bersama. Usai salat maghrib berjamaah dan
mengaji bersama, kami kembali ke asrama untuk istirahat sejenak. Perlahan-lahan
aku memahami jadwalku yang sekarang sebagai santriwati.
“Thal?bangun,
sekarang jadwal buat sekolah malam.” Sheila membangunkanku yang ternyata
terlelap.
“Iya.”
Ucapku dengan mata yang masih tertutup, kantuk ini serasa tak ingin pergi
meninggalkanku.
Aku
memaksakan diri menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar terlihat sedikit
segar. Setelah mencuci muka, aku mengganti pakaianku dan bersiap – siap untuk
berangkat sekolah malam.
“Sheila?”
panggilku pada Sheila, yang dipanggil menoleh ke arahku.
“Sekolah
malam itu apa?” tanyaku bingung.
“Sekolah
malam itu sebenarnya sama seperti sekolah formal pada umumnya hanya saja
dilaksanakan pada malam hari dan yang dibahas bukan pelajaran umum seperti
matematika dan semacamnya, melainkan seperti shorof, fiqih, akhlak, pokoknya
banyak deh.” Terang Sheila, aku mengangguk.
“Kamu mondok
disini sejak kapan, Shei?” tanyaku basa-basi.
“Sejak kelas
tujuh SMP.” Jawab Sheila, aku mengangguk lagi.
Kami pun
berangkat sekolah malam. Hari ini, pelajarannya adalah fiqih dan akhlak. Guru
fiqih menjelaskan bab salat jenazah didepan kelas, semua murid sibuk mencatat
dan fokus memerhatikan. Jam pelajaran fiqih telah habis digantikan dengan
pelajaran akhlak. Kali ini, membahas tentang adab kepada kedua orangtua. Guru
akhlak sibuk menjelaskan sedangkan aku sibuk dengan imajinasiku sendiri, aku
benar-benar merindukan orangtuaku. Bel berdering, menandakan waktu untuk
pulang, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para santri bergegas kembali
ke asrama. Kegiatan yang dilakukan setelah pulang sekolah malam bermacam-macam.
Ada yang mengaji, makan, bercerita dengan temannya, dan tidur. Aku memilih
untuk tidur, menghilangkan penat.
Aku
terbangun di sepertiga malam, pandanganku menyapu sekeliling, terlihat
teman-temanku masih terlelap dengan pulasnya. Aku memantapkan hati,
kulangkahkan kakiku menuju tempat berwudu. Setelah berwudu, aku mengambil
sajadah lalu ku arahkan ke arah kiblat dan dengan segera aku menggunakan mukena
milikku. Usai melaksanakan ibadah salat
tahajud, aku berdoa kepada Allah. Menumpahkan segala rasa, air mata ini bahkan
tanpa hentinya mengalir. Tak lupa, aku mendoakan orang yang amat sangat aku
rindukan yaitu Ibu dan Ayah. Aku berharap mereka baik-baik saja, aku berharap
keluargaku kembali harmonis seperti dulu lagi. Setelah berdoa, aku membereskan
perlengkapan salatku kemudian melanjutkan tidurku.
“Thal?
bangun! Ayo wudu, bentar lagi waktunya buat salat witir dan subuh berjamaah
loh!” perintah Sheila.
Aku menurut,
kami bergegas untuk bersiap-siap menunaikan ibadah salat witir dan subuh
berjamaah. Usai salat berjamaah, kami berbondong-bondong mengantre untuk mandi.
Setelah itu kami bergegas mempersiapkan diri untuk menuju ke sekolah. Apel pagi
adalah kegiatan yang harus dilakukan sebelum masuk ke kelas. Sekolah umum
dimulai dari pukul 05.45 WIB sampai pukul 12.45 WIB.
“Gimana,
Thal?udah mulai paham nih sama kehidupan santri?” gurau Sheila.
“Udah dong.”
Jawabku sambil menunjukkan senyum terlebarku.
“Yaudah,
abis ini kamu antre buat mencuci baju ya!” perintah Sheila.
Aku menatap
Sheila bingung, “Mencuci baju? tapi kan kita bisa laundry?”
“Kamu harus
mandiri, Thal. Jangan jadi anak manja lagi. Sedikit demi sedikit harus berubah.
Laundry itu hanya untuk anak yang
pemalas dan boros.” Ceramah Sheila padaku, dengan terpaksa aku harus
menurutinya.
Sesampainya
diasrama, aku bergegas menuju kamar mandi dan mencari antrean untuk mencuci
baju. Setelah mendapat antrean, aku menghampiri Sheila.
“Sheila?”
panggilku.
“Dalem.” Jawab Sheila.
“Aku kan gak
bisa mencuci baju.” Keluhku sambil memanyunkan bibirku.
“Aku
ajarin.” Jawabnya santai.
Kami pun
menunggu hingga antrean kami, setelah satu jam menunggu. Kini, antrean kami
telah tiba. Aku dan Sheila pun bergegas membawa ember yang berisi baju kotor
menuju kamar mandi. Sheila mengajarkanku cara mencuci baju, aku mengamati
dengan cermat. Lama-kelamaan, aku mulai terbiasa dan bisa mencuci baju sendiri.
Aku
menjalani hariku dengan lancar. Aku menyukai kehidupan baruku. Banyak yang ku
pelajari dari kehidupan para santri. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat,
sudah tiga bulan aku berada di pondok pesantren ini. Aku mulai terbiasa dengan
semua kegiatannya. Tiga bulan berlalu dengan lancar tanpa adanya masalah. Aku
yakin bisa lulus dari sini, membanggakan Ibu dan Ayah. Aku yakin bisa menghafalkan
30 juz Alquran agar mendapatkan beasiswa kuliah di Mesir. Aku akan membuktikan
kalau anganku akan menjadi nyata.
“Rek, siapa yang memakai jilbab milikku
tanpa sepengetahuanku?” teriak Alfa, membuyarkan lamunanku.
“Jilbab
warna apa?” tanya Desi.
“Jilbab
warna jingga, di asrama ini yang punya cuma aku.” Ujar Alfa, uratnya terlihat
jelas sekali, ia sedang benar-benar kesal.
“Maaf, Al.
Ini jilbabmu, tadi aku mau minjam tapi kamunya nggak ada jadinya aku pakai dulu
deh.” Kata Sendy dengan ekspresi tanpa rasa bersalah yang berhasil memancing
Alfa marah. Alfa yang terbawa emosi pun menjambak rambut Sendy.
“Aku tuh
paling nggak suka kalau ada orang yang meminjam barangku tanpa sepengetahuanku.
Ini balasan buat kamu!’ teriak Alfa emosi, aku berusaha untuk melerai mereka.
“Al,
hentikan! kalian jadi pusat perhatian anak seasrama tuh.” Kataku mencoba
memisahkan.
“Kalau nggak
dikasih pelajaran, dia nggak bakal kapok.” Balas Alfa seraya melotot ke arahku.
“Tapi kan
bisa diselesaikan dengan baik-baik. Emang kamu suka jadi pusat perhatian kayak
begini?” tanyaku yang berhasil membuat Alfa bungkam.
Mereka
berdua pun akhirnya menurut, menyelesaikan masalah mereka dengan baik-baik dan
berdamai. Aku menghela nafas lega, namun baru saja aku bernafas lega, ada lagi
masalah yang menghampiri.
“Shei?”
panggilku seraya memegang pundaknya.
“Jangan
pedulikan aku, Thal.” Katanya lirih hampir tak terdengar.
“Ada masalah
apa? gak biasanya sampai nangis kayak gitu.” Tanyaku heran namun yang ditanya
tetap diam.
“Sheila...
Cerita aja, kita kan sahabat.” Ujarku lembut sambil mengelus-elus pundaknya.
Tangis
Sheila pecah seketika, ia langsung memelukku erat. Tak biasanya ia sentimental
seperti ini.
“Aku... Aku
ingin boyong. Aku gak betah disini,
Thal.” Ucapnya tersedu-sedu.
Aku menghela napas, “Shei... Kamu
sendiri kan yang bilang kalau kita harus membuat orangtua kita bangga dengan
cara mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah di Mesir?”
“Tapi aku
gak bisa terus menerus pura-pura bahwa aku bisa mengatasi segalanya, Thal. Aku
lelah dijadikan bahan omongan anak-anak.” Keluh Sheila.
“Memangnya
kamu kenapa sampai jadi bahan omongan?” tanyaku bingung.
“Baiklah,
akan kuceritakan padamu. Aku sudah mempersiapkan diri dari awal, aku tahu bahwa
cepat atau lambat kamu akan menjauhiku.” Ucapnya sambil menghembuskan napas.
“Aku dulu
pernah mencuri uang milik salah satu alumni disini, tapi itu dulu. Sekarang,
aku tidak akan melakukannya lagi. Aku mencuri uang karena keluargaku sedang
mengalami krisis ekonomi. Bapakku seorang petani, sawahnya gagal panen sehingga
aku tidak punya uang saku. Aku tidak ingin menuntut kepada keluargaku, aku
tidak ingin membebani mereka. Hingga nafsu itu muncul, merasukiku. Aku seperti
dibisiki oleh seseorang agar mencuri dan aku menurutinya. Aku mencuri namun
tidak berhasil. Aksi yang aku lakukan ketahuan. Aku dilaporkan ke keamanan
pondok kemudian aku diberi hukuman yang setimpal. Setelah itu, aku berjanji
pada diriku akan menjadi lebih baik. Tapi tetap saja, banyak sekali cacian dan
makian yang aku terima. Kamu belum tahu rasanya saat perekonomian keluargamu
sedang krisis, dicaci-maki temanmu setiap hari, diberi hukuman yang lumayan
berat, kan? Rasanya benar-benar tidak enak, Thal.” Sheila tersenyum getir, ia
mencoba untuk menahan air matanya yang akan terjatuh.
“Maka dari
itu aku bertekad agar bisa mendapatkan beasiswa itu. Tapi jika seperti ini,
rasanya aku benar-benar ingin boyong.”
Air matanya menetes menelusuri pipinya. Ia gagal menahan air matanya.
Aku memeluknya
lantas berbisik, “Memangnya ada apa?”
“Uang milik
Syafia hilang, anak-anak menuduhku mengambil uang itu, padahal aku sama sekali
tidak mengambilnya. Aku sudah bukan aku yang dulu. Aku sudah berubah.” Jelasnya
penuh emosi.
Aku mengelus
pundaknya lagi, “Aku tahu kamu tidak berbohong, Shei. Biarkan saja mereka,
anggap saja mereka seperti anjing yang menggonggong. Nanti juga jika terbukti
kamu tidak bersalah, mereka akan meminta maaf kepadamu.”
Sheila
mengangguk, dia mulai merasa baikan. Aku harap akan terbukti bahwa Sheila tidak
bersalah. Sheila mencoba mengabaikan semua cacian dan makian yang ditujukan
padanya.
Tiga hari
setelah kejadian itu, Syafia mengumumkan bahwa uangnya telah ditemukan terselip
diantara tumpukan baju miliknya. Anak-anak yang menggunjing Sheila merasa malu,
mereka meminta maaf kepada Sheila karena telah menggunjing dan menuduh Sheila
tanpa adanya bukti. Sheila tersenyum ke arahku. Aku turut lega karena anak-anak
itu menyadari kesalahan mereka.
Hari demi
hari berlalu. Bulan berganti bulan. Tak terasa, tahun terakhirku di pondok pesantren
ini telah tiba. Banyak sekali kenangan yang telah aku dan teman-temanku ukir
disini. Suka maupun duka telah kami cicipi bersama. Hari ini adalah momen
terpenting dalam hidupku maupun santri lainnya. Semua ujian beserta segala tes
telah kami lalui. Saatnya untuk mendengarkan pengumuman kelulusan kami sebagai
santriwati di pondok pesantren ini. Orangtua para santriwati diundang untuk
mengikuti acara berharga ini. Ayah dan Ibuku juga datang ke acara ini, aku
bahagia melihat mereka yang sekarang terlihat begitu harmonis. Satu – persatu
santriwati disebutkan namanya agar maju ke atas panggung kemudian disebutkan
pula nama orangtuanya, asal kota dan juga nilai kelulusannya. Terlihat beberapa
orangtua menangis bahagia atas pencapaian yang diperoleh anaknya. Setelah
pengumuman kelulusan selesai, tiba saatnya pengumuman beasiswa yang akan dibacakan.
Kuota beasiswa hanya mencakup sepuluh
orang. Pengumuman beasiswa dimulai dari peringkat bawah yakni peringkat sepuluh
ke peringkat atas yakni peringkat satu. Atmosfir ketegangan sangat terasa. Ini
sudah peringkat kelima, tapi namaku belum juga disebutkan. Batinku ragu, aku
takut tidak bisa meraih beasiswa, aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku.
Tanpa henti mulutku terus melantunkan doa. Peringkat ketiga, nama Sheila
disebutkan. Betapa bahagianya Sheila, terlihat sekali dari gurat wajahnya.
Keluarganya menangis, mereka berpelukan erat. Aku ikut bahagia atas pencapaian
sahabatku itu. Sudah peringkat kedua yang dibacakan saat ini namun namaku tidak
juga disebutkan. Aku mulai ragu, sepertinya aku gagal.
“Ibu, Ayah,
Thala minta maaf ya. Thala gak bisa membanggakan Ibu sama Ayah.” Ucapku pelan
sambil menundukkan kepala.
Baru saja kalimat itu terlontar dari
mulutku, tiba-tiba namaku disebutkan sebagai peringkat pertama. Sontak, aku
kaget bukan main. Refleks, aku melakukan sujud syukur. Kemudian Ayah dan Ibu
memelukku erat. Air mata bahagia mengalir dari mata Ibu. Sheila berteriak
histeris. Ayah mengangguk mantap ke arahku. Aku pun dengan bangga melangkahkan
kakiku menuju panggung. Aku sedih, bahagia, terharu, perasaanku tak bisa
didefinisikan. Aku benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Pembawa
acara menyuruhku untuk menyampaikan beberapa kesan maupun pesan, aku membalas
dengan anggukan mantap.
“Pertama-tama,
marilah kita memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT.” Ucapku lantang,
walaupun sebenarnya aku gugup setengah mati.
Aku menghela
napas, “Saya tidak terlalu pintar dalam merangkai kata, tapi jujur saja hingga
saat ini saya masih tidak percaya bahwa saya bisa berada disini, apalagi
mendapatkan beasiswa seperti ini.” Air mata yang kutahan berhasil lolos namun
dengan cepat tanganku menghapusnya.
“Terimakasih
sebanyak-banyaknya saya ucapkan kepada Pengasuh pondok pesantren ini, kepada
teman-teman yang telah menciptakan kenangan yang amat berharga bagi saya,
kepada orangtua saya yang berhasil mendidik saya hingga saya bisa berada
disini. Terimakasih buat semuanya.”
Aku
menunduk, aku sudah tidak kuat lagi menahan tangis. Aku pun mempercepat
pidatoku lalu turun dari atas panggung menuju tempat dimana orangtuaku berada.
Ayah dan Ibu menyambutku dengan pelukan hangat yang sudah sangat lama aku
rindukan.
“Athala....”
Panggil Ayah pelan, aku menoleh seraya menghapus air mataku yang sulit untuk
berhenti.
“Maafkan
Ayah dan Ibumu ini, Nak. Kami tidak bisa menjadi orangtua yang baik buat kamu.
Kami selalu menuruti ego dan nafsu tanpa memerdulikan kamu.” Ucap Ayah, air
matanya yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah juga.
“Kami minta
maaf ya, Nak. Kami telah mengecewakanmu tapi yang kamu lakukan justru malah
sebaliknya, kamu malah membanggakan kami didepan orang banyak. Ibu...Ibu sudah
kehabisan kata-kata, Nak. Ibu benar-benar malu kepada diri sendiri.” Tangis Ibu
sungguh terdengar pilu.
Aku memeluk
mereka erat, “Ayah, Ibu, kalian tak perlu meminta maaf. Athala menjadi seperti
sekarang ini karena Ayah dan Ibu. Athala memang sempat kecewa, Athala
benar-benar merasa terjatuh. Namun, Athala mencoba bangkit. Athala mencoba
menghadapi segala permasalahan yang ada
karena Athala percaya bahwa Allah tidak akan memberi ujian diluar batas
kemampuan kita. Athala terus berusaha dan berdoa untuk mendapatkan ini semua,
Athala ingin membuat Ayah dan Ibu bangga, banyak yang mengatakan bahwa ini
tidak akan mungkin terjadi tapi Athala bertekad akan membuktikannya. Athala
percaya bahwa sesuatu yang istimewa membutuhkan pengorbanan untuk meraihnya.”
Jelasku berusaha untuk menenangkan Ayah dan Ibu agar tidak menyalahkan diri.
“Disini
Athala belajar banyak sekali, Athala dan teman-teman banyak menorehkan kisah
yang berharga disini. Ayah, Ibu, lihatlah Athala yang sekarang. Putri kecilmu
yang manja sudah bermetamorfosa menjadi gadis dewasa dan mandiri yang banyak
belajar dari luka.” Ujarku tersenyum simpul.
“Kamu benar,
Nak. Putri kecil Ayah telah berubah. Seperti ulat yang melalui perjalanan
panjangnya yang penuh perjuangan untuk menjadi seekor kupu-kupu yang indah nan
elok rupawan.” Ucap Ayah seraya mengusap kepalaku, lantas mencium keningku.
Akhirnya, aku bisa mengubah rasa sakitku
menjadi bahagia yang tak ternilai harganya. Terbalas sudah semua lelah dan
perjuanganku. Bila semua terasa sesak bagimu, ketika beban kian berat dan tidak
ada lagi seseorang yang membantu maka menangislah. Luapkan semua emosimu.
Tumpahkan semua masalah dalam doa dan sujudmu. Sebab kamu masih punya Allah,
Rabb yang tidak pernah meninggalkan dan pengabul semua harapan.
0 komentar:
Posting Komentar