Sabtu, 03 November 2018

#CERPENSANTRI

di November 03, 2018

DARI LUKA, AKU DEWASA

"Kamu gak pernah ngerti apa mauku!" teriak Ayah, garis wajahnya mengeras.
"Aku udah mencoba buat ngertiin kamu. Tapi apa? kamu sendiri tidak pernah menuruti keinginanku." Ibu berkata lirih, air matanya mengalir pelan menelusuri pipi mulusnya.
            Aku mengintip pertengkaran mereka dari balik daun pintu kamarku. Entahlah, sudah kesekian kalinya mereka bertengkar. Aku melangkahkan kakiku menuju meja belajarku lantas duduk dikursi yang berada di depannya. Aku mengambil ponselku, mencari nama sahabat baikku di kontak ponselku lantas menelponnya.
“Halo?” ucap Nabila
“Bil, aku mau kabur dari rumah.” Kataku sambil berbisik agar tak ada yang dapat mendengar perkataanku.
“Kamu sedang bergurau, kan?” balas Nabila tak percaya.
“Aku serius, Bil. Aku akan memesan tiket pesawat setelah meneleponmu. Lalu, aku akan menulis surat untuk Ibu dan pergi dari rumah ini.” Jelasku.
“Kamu mau melakukan penerbangan kemana?” selidik Nabila.
“Aku akan menuju Surabaya. Aku sudah merencanakannya dengan matang, Bil. Tenang saja, aku akan selalu memberi kabar kok. Sudah dulu ya, Doakan rencanaku berjalan lancar.”
“Hm... Baiklah, semoga rencanamu berjalan dengan lancar. Aku pasti akan merindukanmu.”
“Terimakasih. Sudah dulu ya, Bil. Aku mau memesan tiket dulu.” Setelah pamit, aku memutuskan panggilanku dengan Nabila lalu segera memesan tiket pesawat.
            Aku mencari tiket yang penerbangannya akan dilakukan pada besok pagi pukul tujuh saat dimana Ibu dan Ayah telah berangkat kerja. Setelah menemukan tiket sesuai keinginan, aku pun langsung membookingnya lantas bergegas mengganti pakaianku untuk menuju ke Indomaret guna melakukan transaksi membeli tiket tersebut. Saat hendak keluar rumah, tiba- tiba saja Bi Inem menghampiriku.
“Mau kemana, Nduk? sudah malam loh.” Selidik Bi Inem.
“Anu... Mau ke Indomaret.” Balasku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ngapain ke Indomaret jam segini?” tanya Bi Inem seraya menatapku tajam.
Aku menghela napas, “Jangan beritahu Ibu sama Ayah, Bi. Aku mau ke Indomaret. Mau membayar tiket pesawat yang baru saja aku pesan. Aku mau ke Surabaya, Bi. Aku mau minggat dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan melihat pertengkaran Ibu dan Ayah. Aku sudah merencanakannya sejak lama dan aku berharap rencanaku berjalan dengan lancar. Tenang saja, Bi. Aku akan menitipkan surat untuk Ibu kepada Bibi. Aku minta tolong supaya surat itu diberikan setelah aku berangkat ya, Bi. Aku sangat menyayangi mereka tapi mau bagaimana pun keputusanku sudah bulat, Bi. Aku akan pergi untuk menjadi santriwati di sebuah pondok pesantren yang letaknya di Kediri. Maka dari itu, aku akan melakukan penerbangan ke Surabaya besok lalu melanjutkan perjalanan dari Surabaya menuju Kediri menggunakan kereta api.” Jelasku panjang lebar kepada Bi Inem.
“Lalu sekolahmu bagaimana, Nduk?” tanya Bi Inem dengan raut wajah kebingungan.
“Aku masih kelas sepuluh, Bi. Tenang saja, semua sudah ku rencanakan dengan matang.” Ucapku mencoba menenangkan Bi Inem.
“Memangnya kamu punya cukup uang?” tanya Bi Inem yang masih khawatir.
“Aku punya uang tabungan, Bi. Lagipula, uang yang biasanya dikirim Ayah maupun Ibu saat mereka ke luar kota atau ke luar negeri tidak pernah aku ambil, masih utuh di ATM. Kupikir itu cukup.” Jelasku berharap bibi mengerti.
Bi Inem menghela napas, “Baiklah, tapi kamu harus janji, bakal ngasi kabar ke Bibi!” perintah Bi Inem.
“Oke, Bi. Aku mau ke Indomaret dulu.” Pamitku kepada Bi Inem yang dibalas anggukan oleh Bi Inem.
            Aku  bergegas menuju Indomaret dan melakukan transaksi. Setelah itu, aku segera pulang ke rumah. Waktuku tidak banyak, setibanya aku di rumah, aku langsung mempersiapkan apa saja yang akan aku bawa besok setelah itu menulis sepucuk surat untuk Ibu.
“Ibu, maafkan anakmu yang pergi tanpa pamit ini. Jujur saja, aku pergi karena lelah dengan Ayah dan Ibu yang selalu bertengkar, selalu menyalahkan satu sama lain. Aku memutuskan untuk pergi, membuka lembaran baru. Aku akan menjadi santriwati di sebuah pesantren yang terletak di kota Kediri. Aku harap Ibu rida akan keputusanku ini. Aku janji akan membuat Ibu bangga padaku suatu hari nanti. Ibu sama Ayah harus akur! aku sangat menyayangi kalian.”
Tanpa sadar, air mata membanjiri pipiku dengan derasnya. Kupikir, aku kelelahan. Mungkin sudah saatnya untuk tidur. Aku beranjak menuju tempat tidurku, menenggelamkan diriku pada selimut tebalku. Lantas berdoa sebelum tidur hingga akhirnya aku terlelap.
Suara azan subuh terdengar, aku terbangun dengan mata yang sulit sekali untuk terbuka. Aku memaksa tubuhku untuk bangun, lantas melangkah ke tempat wudu untuk berwudu lalu menunaikan ibadah salat subuh. Setelah melaksanakan salat, aku mengecek kembali barang-barang yang akan kubawa. Merasa bahwa semua sudah lengkap, aku  bergegas menuju kamar Bi Inem dan menitipkan surat untuk Ibu.
Aku segera menuju ke bandara Soekarno Hatta. Perjalanan dari rumahku menuju bandara menghabiskan waktu setengah jam. Setibanya di bandara, aku menunggu jadwalku untuk check-in. Suara seorang perempuan yang memberi perintah untuk check-in kepada penumpang yang menaiki pesawat yang sama seperti yang akan aku naiki terdengar lewat speaker. Aku memasuki ruang check-in, ku letakkan semua barang yang ku bawa agar diperiksa, setelah petugas bandara memeriksa tiketku dan memastikan bahwa aku tidak membawa barang yang membahayakan, aku dipersilakan untuk menuju ke ruang tunggu. Setelah menunggu lumayan lama akhirnya sekarang jam penerbangan pesawat yang akan membawaku terbang, aku bergegas memasuki pesawat. Setelah semua penumpang memasuki pesawat, pramugari memberikan petunjuk-petunjuk seperti biasanya sebelum pesawat siap untuk terbang. Pesawat yang aku tumpangi pun akhirnya lepas landas. Perjalanan ini memakan waktu sekitar dua jam, aku menghabiskan waktu dengan melihat ke bawah, semuanya terlihat sangat kecil, aku sangat menikmati perjalanan ini. Sungguh indah sekali ciptaan Sang Maha Pencipta. Tanpa terasa, aku telah sampai di Surabaya. Aku mengaktifkan ponselku, memberi kabar bahwa aku sudah tiba di Surabaya dengan selamat kepada Bi Inem serta Nabila. Dari bandara Juanda menuju stasiun, aku menggunakan go-car. Setibanya aku di stasiun, aku bergegas memesan tiket menuju Kediri di loket pemesanan. Setelah membeli tiket, aku menunggu dikursi yang telah disediakan. Lima belas menit berlalu, kereta api yang ditunggu telah tiba, aku bergegas memasuki kereta lalu dengan cermat mencari tempat dudukku. Setelah menemukannya, aku meletakkan barang-barang yang ku bawa lantas menghabiskan perjalanan selama tiga jam dengan terlelap. Tiga jam berlalu, tanpa terasa aku telah tiba di kota Kediri. Aku mengambil barang-barang yang kubawa lantas keluar dari kereta api. Saat keluar dari stasiun, banyak sekali kendaraan becak yang menunggu, berharap akan mendapatkan penumpang demi melanjutkan kehidupan. Aku memutuskan untuk menaiki becak agar sampai hingga ke tujuan.
“Kalo ke pesantren, tarifnya berapa ya, pak?”
“25 ribu ya, Neng. Buat penglaris.” Ujar bapak itu seraya tersenyum, aku balas mengangguk.
            Selama perjalanan, kami banyak berbincang-bincang. Hingga tanpa terasa, aku telah sampai di tempat tujuan. Aku membayar tarif becak lalu mengucapkan terimakasih. Aku melangkahkan kaki menuju tempat mendaftarkan diri sambil melihat-lihat, mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru.
“Enten nopo, Nduk?” tanya seorang pria separuh baya.
“Maaf, Pak. Saya belum bisa bahasa jawa.” Jawabku sopan.
“Healah. Ada keperluan apa, Nak?” tanya pria itu.
“Saya mau menjadi santriwati di pesantren ini, Pak. Bapak bisa bantu saya?” tanyaku pada pria separuh baya itu.
“Kebetulan, saya Pramu di pesantren ini. Ayo, ikut saya ke kantor pondok.” Ujarnya yang kubalas dengan anggukan.
Sesampainya di kantor pondok, aku diberi selembaran kertas, aku disuruh untuk mengisi data diri. Saat mengisi data diri tiba-tiba saja ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ibu, aku menghela napas lantas menerima panggilan tersebut.
“Athala...” Panggil Ibu dengan suara terisak seperti orang habis menangis.
“Iya, Bu?” jawabku pelan.
“Maafin Ibu...Ini semua salah Ibu! Ibu gak bisa ngurus kamu dengan baik. Ibu yang bodoh! pulanglah, Nak... Pulanglah! Ibu merindukanmu. Ibu udah gak punya siapa-siapa, Nak. Kamu adalah satu-satunya harta milik Ibu yang paling berharga.” Bujuk Ibu.
Aku menghela napas, mau bagaimana pun juga, tekadku sudah bulat dan aku sudah sejauh ini.
“Ibu...Thala yang salah. Pergi tanpa pamit. Thala sayang banget sama Ibu, tapi mau bagaimana juga keputusan Thala sudah bulat, tekad Thala sudah tidak bisa diganggu gugat. Ibu baik-baik ya sama Ayah. Thala harap Ibu rida sama keputusan Thala. Thala ingin buka lembaran baru, Bu. Thala janji, Thala akan menjadi anak yang membanggakan Ibu maupun Ayah. Doakan Thala ya, Bu. Karena Athala percaya bahwa doa Ibu bakal selalu mengalir di nadi Thala.” Ujarku mencoba menenangkan Ibu.
“Baiklah, Nak. Kalau memang ini yang terbaik, Ibu rida. Kamu baik-baik ya disana. Ibu juga sayang banget sama Thala. Ibu akan berusaha agar baikan dengan ayahmu. Ibu percaya sama Thala. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngehubungin Ibu. Nanti, Ibu bakal kirimin uang buat Athala. Nanti kalau Ibu punya waktu luang, Ibu bakal kesana.” Ujar Ibu yang akhirnya meridai keputusanku walaupun aku tahu dari nada bicaranya terlihat bahwa ia keberatan.
“Terimakasih, Bu. Sudah dulu ya, Bu.”
“Iya sayang, baik-baik disana.”
Panggilan masuk pun terputus. Aku melanjutkan mengisi data diri dan mengurus semua hal agar bisa menjadi santriwati disini. Usai mengurus semuanya, aku diantar oleh Pramu menuju asrama baruku.
“Kamu mondok karena keinginanmu sendiri, Nduk?” tanya Pramu.
Aku tersenyum ke arahnya, “Iya, pak.”
Pria separuh baya itu mengangguk, “Mondok sing tenanan nggih, Nduk. Agar orangtuamu tidak kecewa dan menyesal.”
“Iya, pak. Lagipula saya sudah janji akan membanggakan orangtua saya. Saya yakin saya pasti bisa.” Ucapku tanpa ragu.
“Saya suka semangat yang kamu miliki, pertahankan itu.” Ujarnya sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
“Ponselmu biar aku bawa saja, Nduk. Nanti kalau ingin menelepon atau apapun, kamu bisa menghubungi saya.” Bujuknya, aku pun menitipkan ponselku padanya.
Pramu tersebut hanya mengantarku sampai di depan pintu gerbang asrama. Selanjutnya aku diantar oleh pengurus asramaku. Saat memasuki asrama, terlihat para santriwati lainnya sedang sibuk mengaji. Mereka menghentikan aktivitas mereka ketika kakak pengurus asramaku mulai bersuara.
“Perkenalkan dirimu, Nduk!” perintah kakak itu padaku yang kubalas dengan anggukan.
“Namaku Athala Megantara. Semoga kalian bisa berteman baik denganku.”
            “Yawes. Tak tinggal dulu, Nduk. Sing akur karo koncone.”Kata kakak itu kemudian pergi meninggalkan aku yang masih memasang raut wajah kebingungan karena tidak mengerti kalimat yang tadi diucapkannya.
Setelah memperkenalkan diri, aku di kelilingi banyak santriwati yang ingin kenalan denganku. Mereka antusias sekali padaku, kecuali satu orang. Entahlah, tapi dari mimik wajahnya terlihat sekali bahwa dia tidak menyukaiku.
“Athala, ikut aku!” perintah teman baruku sambil memegang erat tanganku. Dia membawaku ke sebuah kamar yang cukup luas.
“Ini lemarimu, sini aku bantu merapikan semua barang-barangmu.” Ujarnya sambil membereskan barang-barangku.
“Terimakasih.” Ucapku sungkan.
“Kamu tahu namaku, kan?” tanya teman baruku yang membantu membereskan semua barang yang ku bawa, aku menggeleng.
Dia menepuk dahinya, “Namaku Sheila.”
Usai membereskan semua barang-barangku, ia mengajakku untuk berkeliling. Tujuannya agar aku cepat beradaptasi dengan pesantren ini. Aku suka dengan kepribadian Sheila. Dia ramah, pendengar yang baik, dan dapat mengerti perasaan orang lain.
“Kamu harus betah disini. Disini itu, selain kita dituntut untuk mencari ilmu, kita juga mencari barokahnya. Kamu juga harus bisa memahami setiap karakter teman-temanmu karena kita dibesarkan di lingkungan yang berbeda lalu disatukan disini.”
Aku mengangguk, “ Kamu tahu, waktu aku memperkenalkan diri, ada seseorang yang tidak antusias padaku, dia malah memasang mimik seperti tidak suka begitu.”
“Namanya Aletta, dia memang begitu. Tipe orang yang senang diperhatikan dan benci saat orang lain yang menjadi pusat perhatian.” Jelas Sheila.
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Guratan merah terlihat menghiasi langit. Senja telah tiba. Kami kembali ke asrama setelah puas berkeliling, bergegas mempersiapkan diri untuk mengambil katering. Usai mengambil dan makan katering, kami mempersiapkan diri untuk salat berjamaah. Saat ingin berwudu, aku kaget karena antreannya yang panjang.
“Antre itu pemandangan yang biasa terjadi bagi kaum santri. Kamu harus terbiasa. Asal kamu tahu, bahkan untuk buang air baik besar  maupun kecil pun kita juga harus mengantre.” Jelas Sheila sambil tersenyum melihat ekspresiku yang terkejut melihat antrean wudu.
Setelah berwudu, kami bergegas menuju masjid untuk menunaikan ibadah salat maghrib berjamaah lalu dilanjutkan dengan mengaji bersama. Usai salat maghrib berjamaah dan mengaji bersama, kami kembali ke asrama untuk istirahat sejenak. Perlahan-lahan aku memahami jadwalku yang sekarang sebagai santriwati.
“Thal?bangun, sekarang jadwal buat sekolah malam.” Sheila membangunkanku yang ternyata terlelap.
“Iya.” Ucapku dengan mata yang masih tertutup, kantuk ini serasa tak ingin pergi meninggalkanku.
Aku memaksakan diri menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar terlihat sedikit segar. Setelah mencuci muka, aku mengganti pakaianku dan bersiap – siap untuk berangkat sekolah malam.
“Sheila?” panggilku pada Sheila, yang dipanggil menoleh ke arahku.
“Sekolah malam itu apa?” tanyaku bingung.
“Sekolah malam itu sebenarnya sama seperti sekolah formal pada umumnya hanya saja dilaksanakan pada malam hari dan yang dibahas bukan pelajaran umum seperti matematika dan semacamnya, melainkan seperti shorof, fiqih, akhlak, pokoknya banyak deh.” Terang Sheila, aku mengangguk.
“Kamu mondok disini sejak kapan, Shei?” tanyaku basa-basi.
“Sejak kelas tujuh SMP.” Jawab Sheila, aku mengangguk lagi.
Kami pun berangkat sekolah malam. Hari ini, pelajarannya adalah fiqih dan akhlak. Guru fiqih menjelaskan bab salat jenazah didepan kelas, semua murid sibuk mencatat dan fokus memerhatikan. Jam pelajaran fiqih telah habis digantikan dengan pelajaran akhlak. Kali ini, membahas tentang adab kepada kedua orangtua. Guru akhlak sibuk menjelaskan sedangkan aku sibuk dengan imajinasiku sendiri, aku benar-benar merindukan orangtuaku. Bel berdering, menandakan waktu untuk pulang, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Para santri bergegas kembali ke asrama. Kegiatan yang dilakukan setelah pulang sekolah malam bermacam-macam. Ada yang mengaji, makan, bercerita dengan temannya, dan tidur. Aku memilih untuk tidur, menghilangkan penat.
Aku terbangun di sepertiga malam, pandanganku menyapu sekeliling, terlihat teman-temanku masih terlelap dengan pulasnya. Aku memantapkan hati, kulangkahkan kakiku menuju tempat berwudu. Setelah berwudu, aku mengambil sajadah lalu ku arahkan ke arah kiblat dan dengan segera aku menggunakan mukena milikku.  Usai melaksanakan ibadah salat tahajud, aku berdoa kepada Allah. Menumpahkan segala rasa, air mata ini bahkan tanpa hentinya mengalir. Tak lupa, aku mendoakan orang yang amat sangat aku rindukan yaitu Ibu dan Ayah. Aku berharap mereka baik-baik saja, aku berharap keluargaku kembali harmonis seperti dulu lagi. Setelah berdoa, aku membereskan perlengkapan salatku kemudian melanjutkan tidurku.
“Thal? bangun! Ayo wudu, bentar lagi waktunya buat salat witir dan subuh berjamaah loh!” perintah Sheila.
Aku menurut, kami bergegas untuk bersiap-siap menunaikan ibadah salat witir dan subuh berjamaah. Usai salat berjamaah, kami berbondong-bondong mengantre untuk mandi. Setelah itu kami bergegas mempersiapkan diri untuk menuju ke sekolah. Apel pagi adalah kegiatan yang harus dilakukan sebelum masuk ke kelas. Sekolah umum dimulai dari pukul 05.45 WIB sampai pukul 12.45 WIB.
“Gimana, Thal?udah mulai paham nih sama kehidupan santri?” gurau Sheila.
“Udah dong.” Jawabku sambil menunjukkan senyum terlebarku.
“Yaudah, abis ini kamu antre buat mencuci baju ya!” perintah Sheila.
Aku menatap Sheila bingung, “Mencuci baju? tapi kan kita bisa laundry?”
“Kamu harus mandiri, Thal. Jangan jadi anak manja lagi. Sedikit demi sedikit harus berubah. Laundry itu hanya untuk anak yang pemalas dan boros.” Ceramah Sheila padaku, dengan terpaksa aku harus menurutinya.
Sesampainya diasrama, aku bergegas menuju kamar mandi dan mencari antrean untuk mencuci baju. Setelah mendapat antrean, aku menghampiri Sheila.
“Sheila?” panggilku.
Dalem.” Jawab Sheila.
“Aku kan gak bisa mencuci baju.” Keluhku sambil memanyunkan bibirku.
“Aku ajarin.” Jawabnya santai.
Kami pun menunggu hingga antrean kami, setelah satu jam menunggu. Kini, antrean kami telah tiba. Aku dan Sheila pun bergegas membawa ember yang berisi baju kotor menuju kamar mandi. Sheila mengajarkanku cara mencuci baju, aku mengamati dengan cermat. Lama-kelamaan, aku mulai terbiasa dan bisa mencuci baju sendiri.
Aku menjalani hariku dengan lancar. Aku menyukai kehidupan baruku. Banyak yang ku pelajari dari kehidupan para santri. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat, sudah tiga bulan aku berada di pondok pesantren ini. Aku mulai terbiasa dengan semua kegiatannya. Tiga bulan berlalu dengan lancar tanpa adanya masalah. Aku yakin bisa lulus dari sini, membanggakan Ibu dan Ayah. Aku yakin bisa menghafalkan 30 juz Alquran agar mendapatkan beasiswa kuliah di Mesir. Aku akan membuktikan kalau anganku akan menjadi nyata.
Rek, siapa yang memakai jilbab milikku tanpa sepengetahuanku?” teriak Alfa, membuyarkan lamunanku.
“Jilbab warna apa?” tanya Desi.
“Jilbab warna jingga, di asrama ini yang punya cuma aku.” Ujar Alfa, uratnya terlihat jelas sekali, ia sedang benar-benar kesal.
“Maaf, Al. Ini jilbabmu, tadi aku mau minjam tapi kamunya nggak ada jadinya aku pakai dulu deh.” Kata Sendy dengan ekspresi tanpa rasa bersalah yang berhasil memancing Alfa marah. Alfa yang terbawa emosi pun menjambak rambut Sendy.
“Aku tuh paling nggak suka kalau ada orang yang meminjam barangku tanpa sepengetahuanku. Ini balasan buat kamu!’ teriak Alfa emosi, aku berusaha untuk melerai mereka.
“Al, hentikan! kalian jadi pusat perhatian anak seasrama tuh.” Kataku mencoba memisahkan.
“Kalau nggak dikasih pelajaran, dia nggak bakal kapok.” Balas Alfa seraya melotot ke arahku.
“Tapi kan bisa diselesaikan dengan baik-baik. Emang kamu suka jadi pusat perhatian kayak begini?” tanyaku yang berhasil membuat Alfa bungkam.
Mereka berdua pun akhirnya menurut, menyelesaikan masalah mereka dengan baik-baik dan berdamai. Aku menghela nafas lega, namun baru saja aku bernafas lega, ada lagi masalah yang menghampiri.
“Shei?” panggilku seraya memegang pundaknya.
“Jangan pedulikan aku, Thal.” Katanya lirih hampir tak terdengar.
“Ada masalah apa? gak biasanya sampai nangis kayak gitu.” Tanyaku heran namun yang ditanya tetap diam.
“Sheila... Cerita aja, kita kan sahabat.” Ujarku lembut sambil mengelus-elus pundaknya.
Tangis Sheila pecah seketika, ia langsung memelukku erat. Tak biasanya ia sentimental seperti ini.
“Aku... Aku ingin boyong. Aku gak betah disini, Thal.” Ucapnya tersedu-sedu.
            Aku menghela napas, “Shei... Kamu sendiri kan yang bilang kalau kita harus membuat orangtua kita bangga dengan cara mendapatkan beasiswa agar bisa kuliah di Mesir?”
“Tapi aku gak bisa terus menerus pura-pura bahwa aku bisa mengatasi segalanya, Thal. Aku lelah dijadikan bahan omongan anak-anak.” Keluh Sheila.
“Memangnya kamu kenapa sampai jadi bahan omongan?” tanyaku bingung.
“Baiklah, akan kuceritakan padamu. Aku sudah mempersiapkan diri dari awal, aku tahu bahwa cepat atau lambat kamu akan menjauhiku.” Ucapnya sambil menghembuskan napas.
“Aku dulu pernah mencuri uang milik salah satu alumni disini, tapi itu dulu. Sekarang, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku mencuri uang karena keluargaku sedang mengalami krisis ekonomi. Bapakku seorang petani, sawahnya gagal panen sehingga aku tidak punya uang saku. Aku tidak ingin menuntut kepada keluargaku, aku tidak ingin membebani mereka. Hingga nafsu itu muncul, merasukiku. Aku seperti dibisiki oleh seseorang agar mencuri dan aku menurutinya. Aku mencuri namun tidak berhasil. Aksi yang aku lakukan ketahuan. Aku dilaporkan ke keamanan pondok kemudian aku diberi hukuman yang setimpal. Setelah itu, aku berjanji pada diriku akan menjadi lebih baik. Tapi tetap saja, banyak sekali cacian dan makian yang aku terima. Kamu belum tahu rasanya saat perekonomian keluargamu sedang krisis, dicaci-maki temanmu setiap hari, diberi hukuman yang lumayan berat, kan? Rasanya benar-benar tidak enak, Thal.” Sheila tersenyum getir, ia mencoba untuk menahan air matanya yang akan terjatuh.
“Maka dari itu aku bertekad agar bisa mendapatkan beasiswa itu. Tapi jika seperti ini, rasanya aku benar-benar ingin boyong.” Air matanya menetes menelusuri pipinya. Ia gagal menahan air matanya.
Aku memeluknya lantas berbisik, “Memangnya ada apa?”
“Uang milik Syafia hilang, anak-anak menuduhku mengambil uang itu, padahal aku sama sekali tidak mengambilnya. Aku sudah bukan aku yang dulu. Aku sudah berubah.” Jelasnya penuh emosi.
Aku mengelus pundaknya lagi, “Aku tahu kamu tidak berbohong, Shei. Biarkan saja mereka, anggap saja mereka seperti anjing yang menggonggong. Nanti juga jika terbukti kamu tidak bersalah, mereka akan meminta maaf kepadamu.”
Sheila mengangguk, dia mulai merasa baikan. Aku harap akan terbukti bahwa Sheila tidak bersalah. Sheila mencoba mengabaikan semua cacian dan makian yang ditujukan padanya.
Tiga hari setelah kejadian itu, Syafia mengumumkan bahwa uangnya telah ditemukan terselip diantara tumpukan baju miliknya. Anak-anak yang menggunjing Sheila merasa malu, mereka meminta maaf kepada Sheila karena telah menggunjing dan menuduh Sheila tanpa adanya bukti. Sheila tersenyum ke arahku. Aku turut lega karena anak-anak itu menyadari kesalahan mereka.
Hari demi hari berlalu. Bulan berganti bulan. Tak terasa, tahun terakhirku di pondok pesantren ini telah tiba. Banyak sekali kenangan yang telah aku dan teman-temanku ukir disini. Suka maupun duka telah kami cicipi bersama. Hari ini adalah momen terpenting dalam hidupku maupun santri lainnya. Semua ujian beserta segala tes telah kami lalui. Saatnya untuk mendengarkan pengumuman kelulusan kami sebagai santriwati di pondok pesantren ini. Orangtua para santriwati diundang untuk mengikuti acara berharga ini. Ayah dan Ibuku juga datang ke acara ini, aku bahagia melihat mereka yang sekarang terlihat begitu harmonis. Satu – persatu santriwati disebutkan namanya agar maju ke atas panggung kemudian disebutkan pula nama orangtuanya, asal kota dan juga nilai kelulusannya. Terlihat beberapa orangtua menangis bahagia atas pencapaian yang diperoleh anaknya. Setelah pengumuman kelulusan selesai, tiba saatnya pengumuman beasiswa yang akan dibacakan. Kuota beasiswa hanya mencakup sepuluh orang. Pengumuman beasiswa dimulai dari peringkat bawah yakni peringkat sepuluh ke peringkat atas yakni peringkat satu. Atmosfir ketegangan sangat terasa. Ini sudah peringkat kelima, tapi namaku belum juga disebutkan. Batinku ragu, aku takut tidak bisa meraih beasiswa, aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku. Tanpa henti mulutku terus melantunkan doa. Peringkat ketiga, nama Sheila disebutkan. Betapa bahagianya Sheila, terlihat sekali dari gurat wajahnya. Keluarganya menangis, mereka berpelukan erat. Aku ikut bahagia atas pencapaian sahabatku itu. Sudah peringkat kedua yang dibacakan saat ini namun namaku tidak juga disebutkan. Aku mulai ragu, sepertinya aku gagal.
“Ibu, Ayah, Thala minta maaf ya. Thala gak bisa membanggakan Ibu sama Ayah.” Ucapku pelan sambil menundukkan kepala.
            Baru saja kalimat itu terlontar dari mulutku, tiba-tiba namaku disebutkan sebagai peringkat pertama. Sontak, aku kaget bukan main. Refleks, aku melakukan sujud syukur. Kemudian Ayah dan Ibu memelukku erat. Air mata bahagia mengalir dari mata Ibu. Sheila berteriak histeris. Ayah mengangguk mantap ke arahku. Aku pun dengan bangga melangkahkan kakiku menuju panggung. Aku sedih, bahagia, terharu, perasaanku tak bisa didefinisikan. Aku benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Pembawa acara menyuruhku untuk menyampaikan beberapa kesan maupun pesan, aku membalas dengan anggukan mantap.
“Pertama-tama, marilah kita memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT.” Ucapku lantang, walaupun sebenarnya aku gugup setengah mati.
Aku menghela napas, “Saya tidak terlalu pintar dalam merangkai kata, tapi jujur saja hingga saat ini saya masih tidak percaya bahwa saya bisa berada disini, apalagi mendapatkan beasiswa seperti ini.” Air mata yang kutahan berhasil lolos namun dengan cepat tanganku menghapusnya.
“Terimakasih sebanyak-banyaknya saya ucapkan kepada Pengasuh pondok pesantren ini, kepada teman-teman yang telah menciptakan kenangan yang amat berharga bagi saya, kepada orangtua saya yang berhasil mendidik saya hingga saya bisa berada disini. Terimakasih buat semuanya.”
Aku menunduk, aku sudah tidak kuat lagi menahan tangis. Aku pun mempercepat pidatoku lalu turun dari atas panggung menuju tempat dimana orangtuaku berada. Ayah dan Ibu menyambutku dengan pelukan hangat yang sudah sangat lama aku rindukan.
“Athala....” Panggil Ayah pelan, aku menoleh seraya menghapus air mataku yang sulit untuk berhenti.
“Maafkan Ayah dan Ibumu ini, Nak. Kami tidak bisa menjadi orangtua yang baik buat kamu. Kami selalu menuruti ego dan nafsu tanpa memerdulikan kamu.” Ucap Ayah, air matanya yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah juga.
“Kami minta maaf ya, Nak. Kami telah mengecewakanmu tapi yang kamu lakukan justru malah sebaliknya, kamu malah membanggakan kami didepan orang banyak. Ibu...Ibu sudah kehabisan kata-kata, Nak. Ibu benar-benar malu kepada diri sendiri.” Tangis Ibu sungguh terdengar pilu.
Aku memeluk mereka erat, “Ayah, Ibu, kalian tak perlu meminta maaf. Athala menjadi seperti sekarang ini karena Ayah dan Ibu. Athala memang sempat kecewa, Athala benar-benar merasa terjatuh. Namun, Athala mencoba bangkit. Athala mencoba menghadapi segala permasalahan yang ada  karena Athala percaya bahwa Allah tidak akan memberi ujian diluar batas kemampuan kita. Athala terus berusaha dan berdoa untuk mendapatkan ini semua, Athala ingin membuat Ayah dan Ibu bangga, banyak yang mengatakan bahwa ini tidak akan mungkin terjadi tapi Athala bertekad akan membuktikannya. Athala percaya bahwa sesuatu yang istimewa membutuhkan pengorbanan untuk meraihnya.” Jelasku berusaha untuk menenangkan Ayah dan Ibu agar tidak menyalahkan diri.
“Disini Athala belajar banyak sekali, Athala dan teman-teman banyak menorehkan kisah yang berharga disini. Ayah, Ibu, lihatlah Athala yang sekarang. Putri kecilmu yang manja sudah bermetamorfosa menjadi gadis dewasa dan mandiri yang banyak belajar dari luka.” Ujarku tersenyum simpul.
“Kamu benar, Nak. Putri kecil Ayah telah berubah. Seperti ulat yang melalui perjalanan panjangnya yang penuh perjuangan untuk menjadi seekor kupu-kupu yang indah nan elok rupawan.” Ucap Ayah seraya mengusap kepalaku, lantas mencium keningku.
  Akhirnya, aku bisa mengubah rasa sakitku menjadi bahagia yang tak ternilai harganya. Terbalas sudah semua lelah dan perjuanganku. Bila semua terasa sesak bagimu, ketika beban kian berat dan tidak ada lagi seseorang yang membantu maka menangislah. Luapkan semua emosimu. Tumpahkan semua masalah dalam doa dan sujudmu. Sebab kamu masih punya Allah, Rabb yang tidak pernah meninggalkan dan pengabul semua harapan.







0 komentar:

 

Mozaaww Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei | web hosting